(1) Beban hidup rakyat dipastikan semakin bertambah berat dengan keluarnya
kebijakan pemerintah tentang pembatasan BBM bersubsidi, ataupun
pengurangan subsidi BBM (kenaikan harga BBM). Sebab, kebijakan ini
dipastikan akan disusul oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, barang, dan
jasa yang berarti meningkatnya biaya dan beban hidup rakyat.
Padahal, sebelumnya, rakyat sudah menanggung beban berat akibat
privatisasi PSO (public service obligation) yang telah merambah pada
pelayanan public dasar, seperti air, listrik, kesehatan, dan pendidikan.
Ironisnya lagi, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi -yang ujungnya
adalah pencabutan subsidi BBM secara total- bukanlah kebijakan yang
lahir dari aspirasi rakyat, akan tetapi lahir akibat adanya campur
tangan dan intervensi asing.
Atas dasar itu, kebijakan ini
tidak hanya mendzalimi rakyat, lebih dari itu, kebijakan pembatasan BBM
bersubsidi telah membuka jalan bagi asing untuk menguasai sepenuhnya
sector energy di Indonesia.
(2) Lantas, bagaimana pandangan syariat Islam terhadap kebijakan pembatasan BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM?
Pembatasan BBM Bersubsidi atau Kenaikan Harga BBM: Haram
Jika diteliti secara jernih dan mendalam, dapatlah disimpulkan bahwa hukum pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan harga BBM adalah haram. Adapun alasan keharaman dua opsi kebijakan itu adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan Tersebut Adalah Turunan Dari Kebijakan Haram Privatisasi
Pada dasarnya, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan
harga BBM merupakan akibat dari kebijakan privatisasi dan liberalisasi
tambang minyak dan gas bumi yang diharamkan syariat Islam.
Pasalnya, tambang minyak dan gas bumi termasuk dalam kategori
kepemilikan umum (collective property)yang dari sisi kepemilikan tidak
boleh diserahkan kepada individu, atau hanya bisa diakses oleh
individu-individu tertentu.
Negara dilarang menyerahkan atau
menguasakan harta milik umum kepada seseorang atau perusahaan swasta.
Negara juga dilarang memberikan hak istimewa bagi individu atau
perusahaan swasta untuk mengeksploitasi, mengolah, dan memonopoli
pendistribusiaannya. Ketentuan ini didasarkan pada alasan-alasan.
(3) Kebijakan ini adalah Turunan Dari Kebijakan Haram Privatisasi. Ketentuan ini didasarkan pada alasan-alasan berikut ini.
Pertama, Nabi saw menarik kembali tambang garam yang diberikannya
kepada Abyad bin Hamal, setelah beliau mengetahui depositnya melimpah
ruah bagaikan air mengalir. Imam Abu
Dawud menuturkan sebuah hadits dari Ibnu al-Mutawakkil bin ‘Abd
al-Madaan, dari Abyad bin Hamal ra, bahwasanya ia berkata:
“Sesungguhnya, Abyad bin Hamal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta
beliau saw agar memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil
berkata,”Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi saw pun
memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah
pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan
Anda, apa yang telah Anda berikat kepadanya?Sesungguhnya, Anda telah
memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’
al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw mencabut
kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hamal)”.[HR. Imam
Abu Dawud]
Imam Abu Dawud juga menuturkan sebuat riwayat dari
Mohammad bin Yahya bin Qais al-Ma’rabiy dari Abyad bin Hammal ra,
bahwasanya dia berkata;
“Sesungguhnya Abyad bin Hammal ra
berkunjung kepada Nabi saw, dan Rasulullah saw memberinya tambang garam.
Ketika Abyad bin Hammal telah pergi, seorang laki-laki berkata, “Ya
Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya?
Sesungguhnya Anda telah memberinya sesuatu seperti air mengalir”. Abyad
bin Hammal berkata, “Rasulullah saw menarik kembali pemberian itu”. [HR.
Imam Abu Dawud]
Hadits di atas menjelaskan bahwasanya tambang
yang depositnya melimpah tidak boleh dialihkan kepemilikannya kepada
individu atau swasta. Seandainya tidak ada larangan dalam masalah ini,
niscaya Rasulullah saw tidak menarik kembali apa yang telah diberikannya
kepada orang lain. Sebab, dalam hadits lain, Rasulullah saw melarang
seseorang untuk menarik kembali barang yang telah diberikan kepada orang
lain, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits bahwasanya Nabi saw bersabda:
“Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah
saw bersabda, “Tidak ada bagi kami perumpamaan yang lebih buruk bagi
orang yang menarik kembali hadiahnya, seperti anjing yang menjilat
muntahannya kembali“.[HR. Imam Bukhari]
Dari Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian, kemudian dia
mengambil kembali pemberiannya, kecuali apa yang diberikan orang tua
kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan suatu pemberian lalu
menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang makan, setelah kenyang
ia muntah, kemudian memakan muntahannya kembali”. [HR Abu Dawud,
al-Nasa'i, Ibn Majah, dan al-Tirmidziy]
Dalam hadits di atas,
Rasulullah saw menyebut ‘tidak halal’ perbuatan menarik kembali barang
yang telah diberikan kepada orang lain. Rasulullah saw mencela perbuatan
tersebut dengan menyamakannya dengan anjing yang memakan kembali
makanan yang telah dimuntahkannya. Ini berarti tindakan menarik kembali
pemberian yang telah diberikan -sebagaimana dipahami jumhur ulama’–
adalah haram, kecuali orang tua terhadap anaknya.
Jika
Rasulullah saw melarang menarik kembali barang pemberian, sementara
beliau sendiri melakukannya, dan itu dilakukan setelah beliau mengetahui
bahwa tambang yang diberikan itu depositnya melimpah (al-maa`u
al-‘iddu), maka semua itu menunjukkan bahwa benda tersebut tidak boleh
dimiliki secara pribadi. Jika sudah terlanjur dimiliki, negara harus
menariknya kembali. Sebab, orang tersebut telah menguasai suatu benda
yang oleh syariat dikategorikan sebagai milik bersama.
Larangan
tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Sebab yang menjadi
‘illat tidak diperbolehkannya tambang garam dimiliki secara pribadi
adalah karena jumlahnya yang berlimpah (al-maa’u al-’iddu). Jika
pelarangan itu ditujukan kepada dzat garamnya, tentu Rasulullah saw
sejak awal menolak permintaan Abyad bin Hamal untuk memiliki tambang
garam. Akan tetapi Rasulullah saw baru melarang tambang garam itu
dimiliki secara perorangan, setelah mendapatkan penjelasan dari para
sahabat bahwa tambang garam yang beliau berikan itu bagaikan air yang
tak terbatas. Cakupan tambang itu bersifat umum, meliputi setiap barang
tambang apa pun jenisnya tatkala jumlah (depositnya) sangat banyak atau
tidak terbatas.
(4) Kebijakan ini adalah Turunan Dari Kebijakan Haram Privatisasi. Ketentuan ini didasarkan pada alasan-alasan berikut ini.
Kaum Muslim memiliki hak, andil, dan bagian yang sama terhadaptambang
minyak dan gas bumi. Menguasakan atau memberi hak istimewa kepada
individu atau perusahaan swasta untuk
mengolah dan mendistribusikannya sama artinya telah merampas hak, andil,
dan kesetaraan pihak lain. Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud, Imam An
Nasaaiy, dan lain-lain, menuturkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah
saw bersabda:
“Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki)
dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api”. [HR Ahmad, Abu Dawud, An
Nasaaiy, dll). Dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dari Ibn Abbas
ada tambahan,"Dan harganya haram":
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api, dan harganya haram".[HR. Imam Ibnu Majah]
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa kaum Muslim berserikat terhadap
tiga jenis barang, yakni air, padang rumput, dan api. Kata al-syuraka’
merupakan bentuk jamak dari kata al-syarik, berasal dari kata al-syirkah
atau al-musyarakah yang berarti khilt [al-milkayn (campuran dua
kepemilikan) atau sesuatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih].
Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-’Arab menyatakan:
“Asy-Syirkah wa al-Syarikah sama saja, yakni mukhaalithah al-syarikain
(bercampurnya dua peserikat). Dikatakan, “Isytaraknaa (kami berserikat),
maknanya adalah “tasyaaraknaa (kami saling berserikat).Wa qad isytaraka
al-rajulaan (dua orang laki-laki berserikat), artinya adalah tasyaaraka
(keduanya saling berserikat), dan satu dengan yang lain saling
berserikat…Diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda,
“Manusia saling berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api.
Abu Manshur berkata, “Makna al-naar (api) adalah kayu yang digunakan
untuk membakar dan ditebang dari tempat yang jauh. Demikian juga air
yang berasal dari mata air, dan padang rumput yang tumbuh yang tidak ada
pemiliknya, maka, seluruh manusia memiliki hak yang sama di
dalamnya..[Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 10/448]
Kata “al-syurakaa’” dengan makna “bercampurnya kepemilikan, juga disitir di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman:
“Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar utangnya“. [TQS An Nisaa' (4): 12]
Imam al-Baidlawiy menafsirkan frase [Fahum shuraka' fi tsuluts'] dengan:
“[Falikulli waahid minhumaa al-sudus fain kaanuu aktsara min dzaalik
fahum syurakaa` fi al-tsuluts]: disamakan antara laki-laki dan wanita
dalam bagian (perolehan)..”[Imam al-Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa
Asraar al-Ta`wiil, juz 1/435]
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa makna “syurakaa`” adalah sama-sama memiliki
bagian dan andil yang sama. Tidak disebut “perserikatan” (syurakaa’)
jika orang-orang yang berserikat dalam sebuah perserikatan tidak
memiliki kesamaan dan kesetaraan dengan pihak lain dalam urusan yang
diperserikatkan.
Walhasil, jika dinyatakan ‘al-muslimun
syuraka’ fi tsalats‘, berarti seluruh kaum Muslim sama-sama memiliki
hak, andil, dan bagian yang sama dalam tiga jenis benda yang disebutkan
dalam hadits di atas, yakni: air, padang rumput, dan api. Tidak boleh
ada yang dilebihkan atau diistimewakan antara satu dengan yang lain
dalam hal kepemilikan dan pemanfaatan tiga barang tersebut. Kesamaan dan
kesetaraan dalam tiga barang ini tentu saja tidak akan pernah bisa
diwujudkan jika benda itu menjadi milik pribadi. Sebab, ketika tiga
barang itu dimiliki secara pribadi, niscaya akan menghalangi orang lain
untuk memanfaatkannya. Selain itu, redaksi ‘dan harganya haram’ dalam
riwayat Ibn Majah menunjukkan bahwa ketiga jenis benda tersebut tidak
boleh diperjualbelikan.
(5) Kebijakan ini adalah Turunan Dari Kebijakan Haram Privatisasi. Ketentuan ini didasarkan pada alasan-alasan berikut ini.
Di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar, para ulama juga sepakat mengenai
larangan menjual kelebihan air (fadllu al-maa`). Ketentuan ini
didasarkan pada hadits yang dituturkan dari Iyas bin ‘Abd, bahwasanya ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kelebihan air.” [HR Lima
kecuali Ibn Majah dan disahihkan al-Tirmidziy]. Di dalam riwayat lain,
dituturkan dari Jabir ra, bahwasanya ia berkata:
“Rasulullah saw melarang menjual kelebihan air”.[HR. Imam Muslim dan lain-lain]
Imam al-Qusyairiy menyatakan bahwa hadits riwayat dari Iyas bin ‘Abd
adalah hadits yang memenuhi syarat Imam Bukhari dan Muslim. Sedangkan
hadits Jabir ra juga dituturkan dalam Shahih Muslim, yang lafadznya sama
dengan hadits riwayat Iyas bin ‘Abd ra.
Menurut Imam Asy
Syaukaniy, hadits ini menunjukkan haramnya menjual kelebihan air, yakni
kelebihan dari kecukupan (kebutuhan) orang yang memiliki. Tidak ada
perbedaan apakah air itu berada di tanah mubah atau tanah yang sudah
dimiliki (secara individu), untuk diminum atau lainnya, untuk keperluan
ternak atau menyirami kebun, dalam bepergian atau tidak. Di dalam Kitab
Nail al-Authar, Imam Asy Syaukaniy menyatakan:
“Dua hadits di
atas menunjukkan haramnya menjual kelebihan air. Yakni, kelebihan air
dari kecukupan pemiliknya. Dzahir hadits tersebut menunjukkan tidak ada
perbedaan antara air yang terdapat di tanah yang mubah, atau tanah yang
telah dimiliki; dan sama saja apakah air itu untuk minum, atau untuk
yang lainnya, dan sama saja apakah air itu untuk (memenuhi) kebutuhan
hewan gembalaan atau untuk pertanian, dan sama saja apakah ada di
dataran, atau tempat lain”. [Imam Asy Syaukani, Nail al-Authar, juz
8/183]
Imam An Nawawiy dalam Kitab Syarah Shahih Muslim menyatakan:
“Adapun perkataannya (nahaa Rasulullah saw ‘an bai’ fadll
al-maa`/Rasulullah saw melarang menjual kelebihan air) dan dalam riwayat
lain (‘an bai` dliraab al-jamal, wa ‘an bai` al-ardl lituhrats/Rasul
saw melarang mengambil upah dari penaburan benih (sperma ) onta, dan
Rasul menyewakan tanah untuk pertanian), dan dalam riwayat lain
disebutkan (laa yumnaa` fadlu al-maa` liyumna` bihi al-kalaa`/janganlah
ditahan kelebihan air hingga padang rumput tercegah (untuk mendapatkan)
kelebihan air tersebut), dan dalam riwayat lain (laa tubaa` fadll
al-maa` liyubaa` bihi al-kalaa`/janganlah dijual kelebihan air untuk
pengairan padang rumput).
Adapun larangan menjual kelebihan
air sehingga padang rumput tercegah untuk mendapatkan kelebihan air
tersebut, maknanya adalah ada seseorang memiliki sumur yang dimilikinya
di sebuah dataran. Di dalam sumur itu ada air berlebih dari (kadar)
kebutuhannya, dan di dekatnya ada padang rumput yang tidak ada air
(untuk mengairinya) kecuali air tersebut; sehingga pemilik ternak tidak
mungkin mengembalakan ternaknya kecuali ada bagi mereka pengairan dari
sumur tersebut. Pemilik sumur itu dilarang menahan kelebihan air untuk
hewan ternak.Kelebihan air itu wajib disedekahkan untuk ternak tanpa
kompensasi. Sebab, jika ia melarang mendermakan kelebihan air miliknya,
maka orang-orang akan tercegah untuk mengembalakan ternak mereka di
padang rumput tersebut, karena takut ternak-ternak mereka akan kehausan.
Atas dasar itu, pencegahan dirinya untuk mendermakan
kelebihan air itu, akan mencegah gembalaan di padang rumput. Adapun
riwayat pertama (nahaa ‘an bai` fadll al-maa`) bisa dibawa kepada dua
pengertian, yakni karena alasan menahan kelebihan air itu untuk mengairi
padang rumput, dan bisa juga dibawa kea rah pengertian pada selain
padang rumput. Dan larang tersebut menjadi nahyu tanziih. Para ulama
madzhab kami berpendapat: wajib mendermakan kelebihan air yang ada di
dataran dengan syarat, sebagaimana kami telah sebutkan, (pertama): tidak
ada sumber air lain yang bisa mencukupi; (kedua): (kewajiban
mendermakan kelebihan air itu) untuk kebutuhan binatang ternak, bukan
untuk mengairi pertanian.; (ketiga), pemilik sumur itu tidak membutuhkan
kelebihan air tersebut. [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz
5/414]
Adapun qarinah yang menunjukkan bahwa larangan menjual
kelebihan air adalah larangan yang bersifat pasti (jaazim), sehingga
berimplikasi pada hukum haram, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi
saw, bahwasanya beliau saw bersabda:
“Barang siapa menghalangi
(orang lain untuk mengambil atau memanfaatkan) kelebihan air atau
kelebihan padang rumputnya, maka Allah Azza wa Jalla akan menghalangi
keutamaanNya kepada dia pada hari kiamat“.[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits yang menuturkan tentang larangan menjual kelebihan air,
menunjukkan bahwa seorang Muslim dilarang mencegah orang lain untuk
mengakses barang-barang yang sudah menjadi hajat hidup orang banyak,
yang mana pencegahan itu bisa menimbulkan madlarrah bagi kehidupan
masyarakat. Dari sinilah dapat dipahami bahwa mengalihkan harta
kepemilikan umum kepada individu atau perusahaan swasta yang menyebabkan
masyarakat tidak mampu mengakses harta kepemilikan tersebut adalah
tindakan haram
Muslimah4Khilafah/@Women4Khilafah
#TolakKenaikanBBM