Khilafah, Mencetak Generasi Cemerlang

Minggu, 17 Juni 20120 komentar

Generasi cemerlang terlihat dari karakter cemerlang yang dimiliki. Dimana karakter adalah buah dari sebauh pohon kepribadian untuk seseorang menjalani kehidupan di dunia. pemahamannya tentang kehidupan dunia ditumbuh suburkan oleh lingkungan hasil dari penerapan sistem. ada tiga poin langkah membentuk generasi berkualitas benar yaitu membentuk generasi berkualitas benar yaitu membentuk pemahaman yang benar tentang kehidupan (aqidah), tentang sistem/jalan hidup yang benar (syariah), dan ciptakan lingkungan kondusif untuk tumbuh kembang generasi berkarakter benar (penerapan sistem Islam/syari'ah kaffah). Dan tanggung jawab melahirkan generasi cemerlang adalah keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. (Dr. Faizatul Rosyidah, Lajnah Intelektual MHTI, KIMB, 20 Mei 2012 di Universitas Indonesia)
Pendahuluan

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari pentingnya melahirkan generasi cemerlang berkualitas pemimpin. generasi yang tidak hanya unggul dalam sains dan teknologi, melainkan juga memiliki kepribadian yang khas (istimewa). Yakni, kepribadian yang terpancar dari kesatuan pola pikir dan pola sikap yang benar yang senantiasa melahirkan prilaku soleh dan takwa. Kepribadian seperti ini tidak hanya membuat kagum bangsanya, melainkan juga musuh-musuhnya. Generasi seperti ini yang bisa di harapkan menjadi penerus bangsa, yang akan membawa bangsanya menjadi bangsa besar, kuat dan terdepan. Generasi seperti ini bila menjadi pemimpin tidak akan menggadaikan negerinya diperas dan di jajah oleh penjajah asing demi memperkaya dirinya dan keluarganya, tetapi sebaliknya mereka rela berkorban untuk melindungi dirinya dari cengkeraman penjajahan dalam bentuk apapun.
Mewujudkan itu semua maka tidak bisa berharap pada sistem kapitalis yang telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi, siapa yang mampu bayar akan mendapatkan pendidikan. Satu-satunya yang dapat diandalkan adalah sistem pendidikan Islam yang didasarkan kepada ideology Islam, karena bersumber dari wahyu Allah SWT, Sang Pencipta manusia dan alam semesta.
Terdapat tiga pihak yang bertanggung jawab untuk menghasilkan generasi Islam, yaitu: pertama keluarga, yang menjadi wadah pertama pembentukan generasi Islam melalui ayah dan ibu. Kedua: masyarakat , yang menjadi lingkungan tempat generasi Islami itu tumbuh dan hidup bersama anggota masyarakat lainnya. Ketiga: Negara Khilafah, yang bertanggung jawab melahirkan generasi Islami sebagai bagian dari tugaas Negara yang menjalankan sistem pendidikan serta sistem-sistem lainnya yang saling berkaitan.

Sistem Pendidikan Islam Melahirkan Generasi Cemerlang

Sistem pendidikan Islam meposisikan pendidikan merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh Negara. Oleh karena itu, Negara menjamin setiap rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan menikmati proses pendidikan sampai perguruan tinggi tanpa memungut biaya. Demikian pula dengan kesehatan dan keamanan, diberikan secara cuma-cuma kepada setiap individu rakyat, karena merupakan kebutukan pokok seluruh rakyat.
Umat terbaik adalah umat yang memiliki kualitas pemimpin. Kualitas itu tidak lain adalah kepribadian Islam yaitu menyatukan pola pikir dan pola sikap berdasarkan aqidah Islam, yang bersumber dari Allah, Sang Pencipta manusia dan alam semesta.
Mewujudkan generasi khairu ummah, memerlukan kurikulum yang berkualitas. Kurikulum disusun berdasarkan dan berorientasikan ideology Islam bukan pasar. Maka dari itu, kurikulum disusun sebagai berikut:
  1. Bahasa yang dipakai adalah bahasa al Qur’an, bahasa yang mampu menggugah pemikiran dan menyentuh perasaan. Sehingga anak didik mempunyai kemampuan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
  2. Tsaqafah Islam dipelajari dengan menggali Al-Qur’an dan As Sunnah sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia, baik dalam ranah individu maupun publik. Sehingga semua permasalahan bisa diselesaikan untuk menghantarkan kehidupan manusia menjadi sejahtera, bahagia dan mulia.
  3. Sains dan teknologi memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia dalam kehidupan.
Beberapa prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan formal oleh Daulah Khilafah sebagai berikut:
  1. Pendidikan untuk semua
  2. Membangun kepribadian yang Islami
  3. Meningkatkan keahlian dalam seluruh bidang kehidupan
  4. Pendidikan bahasa
  5. Metode pengajaran yang digunakan adalah untuk membangkitkan kecerdasan dan memperbaiki prilaku
  6. Pendidikan tinggi

1.  Pelaksanaan Pendidikan
Berdasarkan organ pelaksana, pendidikan bisa dibagi menjadi dua, yakni secara formal di sekolah/ kampus dan secara nonformal di luar sekolah/ kampus (lingkungan), yakni keluarga dan masyarakat.

a. Pendidikan di sekolah/ kampus
Pendidikan di sekolah/ kampus pada dasarnya merupakan proses pendidikan yang diorganisasikan secara formal berdasarkan struktur hierarkis dan kronologis, dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Selain mengacu pada pelaksanaan pendidikan yang diterapkan secara berjenjang, berlangsungnya proses pendidikan di sekolah sangat bergantung pada keberadaan subsistem-subsistem lain yang terdiri atas: anak didik (pelajar/mahasiswa); manajemen penyelenggaraan sekolah; struktur dan jadwal waktu kegiatan-mengajar; materi atau bahan pengajaran yang diatur dalam seperangkat sistem yang disebut kurikulum; tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana yang bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan pendidikan; alat bantu belajar (buku teks, papan tulis, laboraturium, dan audiovisual); teknologiyang terdiri dari perangkat lunak (strategi dan taktik pengajaran) serta perangkat keras (peralatan pendidikan); fasilitas gedung dan sarana penunjang beserta perlengkapannya; kendali mutu yang bersumber atas target pencapaian tujuan; penelitian untuk pengembangan kegiatan pendidikan; dan biaya pendidikan guna melancarkan kelangsungan proses pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan di sekolah di masa kejayaan Islam, berdasarkan sirah Rasul hingga masa tarikh Daulah Khilafah, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
  • Kurikulum pendidikan didasarkan pada Aqidah Islam.
  • Mata pelajaran dan metodologi pendidikan untuk menyampaikan pelajaran seluruhnya disusun sejalan dengan asas Aqidah Islam.
  • Tujuan penyelenggaraan pendidikannya merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan Islam yang disesuaikan dengan tingkatan pendidikannya.
  • Sejalan dengan tujuan pendidikannya, waktu belajar untuk ilmu-ilmu Islam (tsaqofah Islamiyyah) diberikan setiap minggu dengan proporsi yang disesuaikan dengan waktu pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan).
  • Pelajaran ilmu-ilmu kehidupan/terapan dan sejenisnya (iptek dan keterampilan) dibedakan dari pelajaran guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah dan tsaqofah Islamiyyah. Khusus untuk materi guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah mulai diberikan di tingkat dasar sebagai materi pengenalan dan kemudian meningkat pada materi pembentukan dan peningkatan setelah usia anak didik menginjak baligh (dewasa). Sementara materi tsaqofah Islamiyyah dan pelajaran ilmu-ilmu terapan dan sejenisnya diajarkan secara bertingkat dari mulai tingkat dasar.
  • Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar diseluruh jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta.
  • Meteri pelajaran yang bermuatan pemikiran, ide dan hokum yang bertentangan dengan islam, sepertiideologi sosialis/komunis atau liberal/kapitalis, aqidah ahli kitab dan lainnya, termasuk sejarah asing, bahasa maupun sastra asing dan lainya, hanya diberikan pada tingkat pendidikan tinggi yang tujuannya hanya untuk pengetahuan, bukan untuk diyakini dan diamalkan.
  • Libur sekolah hanya diberikan pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha (termasuk hari tasyri’). Masa pendidikan berlangsung sepanjang tahun dan tujuh hari dalam seminggunya. Hal ini menjadikan umat Islam biasa beretos kerja tinggi. Secara ringkas waktu belajar untuk setiap harinya dibagi menjadi dua kelompok: (1) jam pagi, dimulai jam 07.30 hingga waktu dhuhur (jam 12.00) atau selama empat jam ditambah waktu istirahat; (2) jam sore, dimulai sejak selesainya shalat Ashar (jam 15.30) sampai dengan jam 20.00 atau setara dengan empat jam ditambah waktu istirahat. Hal ini didasarkan pada sabda Rasul SAW:
“Jadikanlah makan sahur sebagai penguat untuk usaha di siang hari, dan jadikanlah tidur siang sebagai penguat ibadah di malam hari.” (H.R. Ibnu Majah, Ibnu Abi Asim dan Al Hakim dari Ibnu Abbas)
  • Pendidikan sekolah tidak membatasi usia. Yang ada hanyalah batas usia wajib belajar bagi anak-anak, yakni mulai umur tujuh tahun. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW:
“Perintahkanlah anak-anak mengerjakan sholat dikala mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan sholat pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka (pada usia tersebut pula)” (HR. Al Hakim dan Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin Ash)
Karena itulah pada masa permulaan Islam, kaum muslimin senantiasa mengirimkan anak-anaknya ke sekolah rendah (kuttab) saat anak-anaknya menginjak usia tujuh tahun.
  • Penyelenggaraan kegiatan olahraga dilangsungkan secara terpisah antara murid pria dan wanita.
  • Pendidikan diselenggarakan oleh Negara secara gratis atau murah. Swasta bisa turut menyelenggarakan asal visi, misi dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak keluar dari ajaran Islam.
Pendidikan semacam ini dikenal pula sebagai pendidikan dalam small Islamic environment. Pendidikan yang diselenggarakan secara kontinyu dan terpadu dalam suatu lingkungan buatan yang Islami.
Dalam kondisi yang tidak Islami seperti saat ini, peran penting sekolah sangat terasa, mengingat bahan masukannya berasal dari suprasistem yang sekuler. Beban sekolah bertambah berat manakala ia pun harus mampu mensterilkan kondisi sekolah dari gempuran pengaruh negative yang datang dari kedua suprasistem. Oleh karenanya, proses pendidikan di sekolah harus mampu mengahsilkan keluaran yang integral, tidak sekuler. Proses pendidikan yang steril inilah yang tergambarkan seperti di atas. Posisi sekolah sebagai suatu small Islamic environment dalam interaksinya dengan suprasistem masyarakat dan keluarga tergambarkan pada peraga berikut.

b. Pendidikan di keluarga
Pendidikan di dalam keluarga pada hakikatnya merupakan proses pendidikan sepanjang hayat. Pembinaan dan pengembangan kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqofah Islam dilakukan melalui pengalaman hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, utamanya orang tua.
Peran penting pendidikan dalam keluarga tercermin dalam Hadist Rasulullah SAW:
Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Muslim)
       Itulah sebabnya, proses pendidikan dalam keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, karena ia menjadi pondasi kepribadian anak. Keluarga adalah wadah pembinaan keislaman untuk setiap anggotanya yang sekaligus akan membentenginya dari pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari luar. Dalam dakwah pun, sebelumnya menyeru masyarakat luas, seorang muslim diperintahkan untuk berdakwah terlebih dulu kepada anggota keluarga dan kerabat dekatnya.
     “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Qs. Asy-syu’ara: 214)
     “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” (QS.At-Tahrim: 6)
     Pendidikan dalam keluarga semestinya telah dimulai sejak usia dalam kandungan hingga menginjak usia baligh dan memasuki jenjang pernikahan; dan bahkan akan terus berlangsung hingga usia tua. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
     “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan ibu hingga liang lahat.”(Al Hadist)
     Pertama, pendidikan pada saat anak dalam kandungan (prenatal). Pada saat anak berada dalam kandungan, menjelang turunnya malaikat untuk meniupkan roh, disertai catatan tentang empat perkara, yakni rezeki, umur, amal dan nasib, sang ibu mendidik bayi tersebut dengan memperbanyak doa kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pribadi saleh, berbakti pada orang tua dan bermanfaat bagi umat dan agamanya.
     “Sesungguhnya, seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya alam rahim ibu selama 40 hari menjadi mani. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula. Menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya diutuslah malaikat untuk meniupkan roh atasnya serta menulis empat empat ketetapan, yakni rezeki, umur, amal dan nasibnya.”(HR Bukhari dan Muslim)
Istri Imran ketika mengandung Maryam, digambarkan al-Quran, mendoakan putrinya agar menjadi wanita salehah. Sejarah kemudian membuktikan bahwa Maryam adalah wanita pilihan Allah yang dari rahimnya lahir Nabi Isa AS.
Ingatlah ketika istri Imran berdo’a, “Tuhanku, sungguh aku memohon kapada-Mu, agar anak yang ada dalam kandunganku ini menjadi anak yang saleh dan berkhidmat”(QS. Ali Imran:35)
Besarnya korelasi pengaruh doa dan harapan ibu terhadap anak telah dibuktikan oleh penelitian. Diantaranya hasil penelitian Emile Coue sebagaimana dikutip oleh Wohjoetomo (1997) dalam buku Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, tentang bagaimana ibu-ibu Spanyol dan Athena dapat melahirkan anak-anak ‘pilihan’. Ibu-ibu Spanyol melahirkan anak-anak yang kuat dan tumbuh menjadi prajurit-prajurit ulung karena pada saat kehamilannya, mereka sangat berhasrah dan berdoa untuk menyumbangkan ahli-ahli perang dan prajurit pilihan bagi negaranya. Begitupun ibu-ibu Athena melahirkan anak-anak yang cerdas karena berhasrat dan berdoa untuk dapat menyumbangkan ahli-ahli pengetahuan bagi negaranya.
Kedua, pendidikan anak pasca lahir hingga baligh (postnatal). Ketika seorang anak lahir, Islam mengerjakan untuk mendidik dan mengembangkan aspek tauhid, antara lain dengan membacakan azan ditelinga kanan dan iqamat di telinga kirinya.
“…Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati (rasa dan pikiran) agar kamu bersyukur…” (QS.An Nahl: 78)
Ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa panca indra manusia yang pertama kali berfungsi adalah pendengaran. Menurut hasil penelitian diketahui bahwa satu menit setelah kelahiran, bayi mulai dapat menangkap bunyi-bunyian yang membuatnya segera memalingkan wajah kea rah datangnya suara.
Islam menuntunkan, pendidikan berikutnya berupa pemberian nama yang baik, pemberian air susu ibu (ASI), dan penanaman keteladanan kepribadian Islam serta pemberian tuntunan untuk berumah tangga.
Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik dan mendidiknya dengan adab yang mulia.”(HR. Hakim)
Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…”(QS. Al Baqarah:233)
Seorang anak hendaknya disembelihkan akikah setelah hari ke-7 dari kelahirannya dan diberi nama (dengan nama yang baik) dan di cukur rambutnya. Setelah anak tersebut mencapai umur 6 tahun, hendaknya dididik tentang sopan santun. Setelah berusia 9 tahun hendaknya dipisahkan tempat tidurnya. Dan bila telah mencapai 10 tahun, hendaknya dipukul bila meninggalkan shalat. Kemudian setelah dewasa dinikahkan. Maka pada saat itu, ayah menjabat tangan anaknya dan mengatakan,’saya telah mendidik, mengajar, dan menikahkan kamu. Karena itu, saya memohon kepada Allah agar dijauhkan dari fitnah dunia dan azab di akhirat kelak’.” (Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin)
c. Pendidikan di tengah masyarakat
Hampir sama dengan pendidikan di keluarga, pendidikan di tengah masyarakat pada hakikatnya juga merupakan proses pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan praktek kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di masyarakat, utamanya tetangga, teman pergaulan, lingkungan serta sistem nilai yang berjalan.
Dalam Islam, masyarakat adalah salah satu elemen penting penyangga tegaknya sistem selain rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu serta keberadaan Negara sebagai pelaksana syariat Islam. Adanya sikap saling mengontrol pelaksanaan hokum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa pada masyarakat dimungkinkan mengingat masyarakat dalam perspektif Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa dalam diri setiap individunya. Karena itulah proses pendidikan di tengah masyarakat menempati posisi penting.
Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang mengikat mereka.

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang salah benar sebagia penegak keadilan, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk (berbuat) tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.”(QS. Al Maidah: 8)

Lebih dari itu, masyarakat Islam memiliki kepekaan, bagaikan pekanya anggota tubuh terhadap sentuhan. Tubuh yang hidup akan merasa luka yang mengenai salah satu anggotanya kemudian bereaksi dan berusaha melawan rasa sakit tersebut hingga lenyap. Dari sinilah maka amar ma’ruf nahi munkar menjadi bagian yang paling esensial yang sekaligus membedakan masyarakat Islam dengan jenis masyarakat lainnya.
“(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS Ali Imran: 104)
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”(QS Al Imran: 110)
Ketaqwaan anggota masyarakat akan dipengaruhi oleh interaksinya dengan masyarakat. Dalam masyarakat Islam, seorang yang akan berbuat maksiyat tidak berani melakukannya secara terang-terangan, atau bahkan tidak berani untuk melanjutkannya. kalaupun  ada yang tergoda untuk melakukan perbuatan maksiyat, itu akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tapi, kondisi yang Islam akan membuat nya cepat menyadari kesalahanya dan mendorongnya bertobat.
Kisah Ma’iz Al Aslami dan Al Ghomidiyah radliyallahu anhuma yang setelah menyadari kekhilafannya, langsung menghadap Nabi SAW untuk meminta hukuman sesaat setelah berzina, menggambarkan berapa tingginya ketaqwaan pada diri para sahabat, cermin keberhasilan pembinaan individu dalam masyarakat Islam.
Masyarakat yang berfungsi mendidik inilah yang disebut sebagai learning society, yakni ketika proses pendidikan berjalan bagi seluruh anggota masyarakat melalui interaksi keseharian yang selalu bernuansa amar ma’ruf dan nahi munkar. Setiap anggota masyarakat akan selalu mendapatkan masukan positif dan hasil interaksinya itu.

Pendidikan di Masa Kejayaan Islam
       Di masa kejayaan Islam, sejak abad 4 Hijriah telah dibangun banyak sekolah Islam. Tetapi sebelum sekolah semodel itu dikembangkan pendidikan ketika itu biasanya dilakukan di dalam mesjid, majelis-majelis taklim dan tempat-tempat pendidikan keterampilan lainnya. Muhammad Athiyah Al Abrasi dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Islam, memaparkan usaha-usaha para khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu.
       Dalam perkembangannya, setiap khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan. Pada setiap sekolah tinggi dilengkapi dengan iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama penampungan mahasiswa perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi.
       Di antara sekolah-sekolah tinggi yang terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al Mustanshiriyah di Bagdad, Madrasah Al Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang terbaik adalah Madrasah Nizhamiyah. Sekolah ini akhirnya menjadi standar bagi daerah lainnya di Irak, Khurasan (Iran) dan lainnya.
       Madrasah Al Muntashiriyah di Bagdad didirikan oleh Khalifah Al Muntashir pada abad ke-6 Hijriah. Sekolah ini memiliki sebuah auditorium dan perpustakaan yang dipenuhi berbagai buku yang cukup untuk keperluan proses belajar mengajar. Selain itu, madrasah ini juga dilengkapi dengan pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat. Madrasah lain yang juga cukup terkenal adalah Madrasah Darul Hikmah di Kairo yang didirikan oleh Khalifah Al Hakim Biamrillah pada tahun 395 H. Madrasah ini adalah institute pendidikan yang dilengkapi dengan perpustakaan dan sarana serta prasarana pendidikan lainnya. Perpustakaannya dibuka untuk umum. Setiap orang boleh mendengar kuliah, ceramah ilmiah, symposium, aktifitas kesusastraan, dan telaah agama. Pada perpustakaan ini, seperti juga pada perpustakaan lainnya, dilengkapi dengan ruang-ruang studi dan ceramah serta ruang music untuk refresing bagi pembaca.
       Berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah – sebagimana di sarikan oleh Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Negara memberikan jaminan pendidikan secara Cuma-Cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat dipertahankan dan merupakan beban yang harus dipikul Negara serta diambil dari kas baitul maal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut di dasarkan atas ijma sahabat yang member gaji kepada para pengajar dari baitul maal dengan jumlah tertentu. Di Madrasah Al Mustanshiriah yang didirikan Khalifah Al Muntashir di kota Baghdad, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Fasilitas sekolah tersebut lengkap, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian. Begitu pula dengan Madrasah An Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar dan para pelayan serta ruang besar untuk ceramah. Dan jauh sebelumnya, Ad Damsyiqy mengisahkan dari Al Wadliyah bin Ataha’ bahwa Khalifah Umar Ibnu Khattab memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas).

Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Pendidikan Islam

       Model pendidikan yang baik semestinya bisa disediakan oleh Negara karena negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang memadai dan SDM yang bermutu. Sebagaimana tampak pada peraga berikut, dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pemerintah akan bertumpu pada dua elemen sistem besar, yakni ekonomi dan politik. Politik akan melahirkan kebijakan-kebijakan, sementara ekonomi akan melahirkan pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan dana kedua fungsi ini akan saling menunjang penyelenggaraan layanan umum (public services) yang merupakan kewajiban Negara untuk setiap warga negaranya. Yakni pada lapangan kesehatan, pendidikan, keamanan dan infrastruktur.
       Hal inilah yang pernah terjadi pada masa kejayaan Islam. Pendidikan dilaksanakan oleh Negara secara Cuma-Cuma untuk seluruh rakyat.
       Rasulullah SAW pernah menetapkan kebijakan terhadap para tawanan perang Badar, bahwa para tawanan itu bisa bebas dengan mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis.
       Dengan tindakan itu, yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke Baitul Mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca tulis, berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan setara dengan barang tebusan. Artinya, Rasul member upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.

       Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa kepada ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah, Khalifah Umar Ibnu Al Khatbah memberi gaji sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).
       Mengembangkan dakwah Islamiyah adalah kewajiban atas segenap kaum Muslimin:
“serulah (manusia) ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS An Nahl: 125).
Juga sabda Rasulullah SAW:
“Sampaikan apa yang berasal dariku walaupun hanyalah satu ayat” (HR Bukhari).
Tetapi, mungkinkah tugas dakwah dan tabligh itu dapat terlaksana tanpa adanya pendidikan ?
       Al-Badri (1990) juga menceritakan bahwa Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam, memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar ibadah dan mu’amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Ia menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:
Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”

Penutup
Demikianlah sedikit gambaran ringkas mengenai sistem pendidikan Islam  dan pelaksanaannya. Untuk penjelasan lebih lanjut silahkan baca buku:
  1. Jalan baru Intelektual Muslimah
  2. Menggagas Sistem Pendidikan Islam
  3. Prophetic Parenting
  4. Membantuk Anak Sholeh




Sumber:
Dewi Aqila Fikriya
http://www.facebook.com/mobileprotection#!/notes/dewi-aqila-fikriya/khilafah-mencetak-generasi-cemerlang/10151039940374789
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Mengukir Peradaban - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger