Seruan Ulama Kepada Khilafah

Jumat, 29 Juli 20110 komentar


Analis Cendekiawan Muslim Internasional Tentang Kewajiban Menegakkan Sistem Khilafah dan Mengangkat Pemimpin Kaum Muslim.

Sekarang kami kemukakan analisis para cendekiawan muslim yang bertebaran diseluruh jagat raya yang kami nukil secara acak mulai dari analisis konservatif sampai modern. Dari generasi yang hidup pada era awal Kebangkitan Islam sampai kepada mereka yang telah melihat fenomena dunia abad ini.
Analisis yang di kemukakan mereka menjgarah kepada kewajiban mengangkat seorang imam yang muslim untuk mengurus kepentingan umat Islam dan manusia secara umum sebagai bukti kongkrit dari Islam agama kasih sayang bagi seluruh umat manusia.
1.       Imam Al-Mawardi
2.       Abu Ya la Al-Farra
3.       Imam Assyaukani
4.       Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
5.       Ibnu Kaldun
6.       Ibnu Hazm
7.       Imam Al-Qurtubi
8.       Al Haitsami
9.       Imam An Nawawi
10.   Al Jurjani
11.   Imam Haramain
12.   Imam Al-Iji dan Al-Jurjani
13.   Dr. Ziadudin
14.   Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq
15.   Abdul Qadir Audah
16.   Sulaiman Al Diji
17.   Dr. Mahmud Al-Khalidi

Sumber:
Judul Buku: Negara Ideal Menurut Islam
Pengarang:Abdul Fattah Ali ben Haj & Muhammad Iqbal
Penerbit: Ladang Pustaka dan INTIMEDIA
Tahun Terbit: 2002
Kota Terbit:Jakarta
Halaman: 35-48


Imam Al Mawardi
Dalam Al- ahkam As Sutaniyah, Halaman 5 dia berkata:
“Mengangkat seorang imam untuk mengurusi umat (Hukumnya) adalah wajib menurut Ijma’ (Kesepakatan Ulama)”
Masih dalam kitab tersebut beliau berkata: “Dan wajib mendirikan imamah untuk penguasa di waktu itu sehingga ia bisa mengurusi umat agar agama terjaga (dengan kekuasaannya) dan berjalan sesuai rule (aturan hukum) dan menurut sunnah-sunnah dan hukum-hukumnya.”

Abu Ya’la Al Farra
Di  dalam Al Ahkam As- Sultaniyah halaman 19 beliau berkata: Mengangkat imam adalah wajib sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad Bin Hambal RA, didalam riwayat Muhammad ibn Auf ibn Sufyan al Hamsyi:
Adalah fitnah, apabila tidak ada imam mengurusi urusan manusia.”

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
Di dalam kitab As-Siyasah As Syar’iyah halaman 161 berkata: “Maka adalah wajib menjadikan imarah(pemerintah) demi agama dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Sesungguhnya taqarub (mendekatan diri) Kepada-Nya dengan jalan mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya sebagai upaya mulianya pendekatan diri. Walaupun disitu ada kerusakan pada sebagian manusia. Membentuk pemerintahan dengan jalan Religius dan mengangkat kepemimpinan sesuai syariah adalah (jalan) merintis ketentraman untuk menjaga harta benda”.
Dalam Kitab Majmu’ul Fatawa juz XXVIII halaman 62 beliau menegaskan:
“Maslahat bani Adam tidak akan pernah sempurna baik Dunia Maupun di Akhirat kecuali dengan persatuan, tolong-menolong, dan saling tanaashur (membantu). Saling membantu untuk mengambil manfaat dan saling mencegah madharat (bahaya)”. Karena itu lalu dikatakan kepada manusia bahwa al insane madaniyun  bi al thabi (manusia terbentuk oleh tabiatnya). Jika mereka bersatu, maka mereka akan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar ukntuk kemaslahatan bersama dan menghindar dari perbuatan-perbuatan yang merusak. Jika demikian maka secara otomatis ia akan menjhadi manusia yang taat kepada pemerintah karena maksud baiknya itu, dan menolong  untuk mencegah terjadinya kerusakan. Sesuai dengan tabi’atnya hendaklah manusia menjadi makhllulk yang taat kepada setiap perintah dan larangan.”
Pada halaman 64 beliau berkata:
Untuk permasalahan ini Rasululllah SAW Menyuruh Umatnya untuk memilkih pemerintah yang akan mengurusi mereka. Dan bila mereka di beri amanat untuk memimpin umat hendaklah mereka menyampaikan amanah tersebut kepada yang berhak. Dan apabila menghakimi manusia, hendaklah menghakimi mereka dengan adil sesuai dengan aturan main pada Islamic Jurisprudention atau fiqh al-islamy (undang-undang Islam). Pada dimensi lain, umat Islam mempunyai pedoman untuk bersikap kepada pemerintah yang syah. Ia juga harus taat sebagaimana ia mentaati Allah. Yang demikian tidak dimaksudkan agar ia mempunyai dua Tuhan. Ketaatan dimaksudkan agar manusia betul-betul loyal pada imamnya selama ia masih berjalan pada rel-rel agama yang hanif.
Di dalam kitab Sunan Abi Daud dari Abu Sa’id Rasulullah SAW bersabda:
“Jika telah keluar tiga orang melakukan safar (perjalanan) hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi amir (pemimpin)”. (HR. Abu Dawud)
Sebuah hadits lain termaktub pada kitab diatas sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. Juga mengisyaratkan kewajiban diatas, yaitu mengangkat seorang khalifah untuk menjadi imam umat.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad Bin Hambal yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar RA. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak dihalalkan bagi tiga orang yang sedang berada & ditengah gurun  padang pasir bumi, kecuali salah seorang diantara mereka  ada yang menjadi amir (imam)”.
Jika dalam struktur kelompok kecil sebuah jamaah saja diwajibkan untuk mengangkat seorang imam, maka yang demikian itu cukup sebagai alasan atas kewajibannya untuk komunitas yang lebih besar semacam Negara, kerajaan, dan sebagainya.
Wilayah yang dijadikan tempat untuk mengatur kemaslahatan umat hendaklah selalu bernafaskan taqarrub (kedekatan religious kepada Tuhan) dan memberlakukan sistem perundang-undangan sesuai situasi dan kondisi yang tetap berpijak pada landasan Alqur’an dan As sunnah. Disinilah perlunya ijtihad seorang imam. Ini pula yang menjadi standar pemilihan seorang imam. Hal mana ia mempunyai otoritas keimuwan bidang duniawi ataupun ukhrawi. Imam ini sebagai bentuk ideal sebuah pemerintahan Khilafah Islamiyah.
Imam yang telah berbuat sebaik mungkin sesuai tuntutan syariat, berperilaku sebagai manusia sholeh dan mulia akan selalu mengedepankan keadilan, kemaslahatan, dan kemakmuran masyarakatnya. Hal ini pula yang telah diisyaratkan Rasulullah SAW Ketika bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan ng diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya.
“Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai Allah SWT adalah seorang Imam yang Adil. Dan Makhluk yang paling Dia benci adalah seorang imam yang aniaya.” (HR. Ahmad)
Dalam salah satu kitabnya, Imam Ibnu Taimiyah menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari imam Ali RA Sesungguhnya Rasulullah bersabda:
“Hendaklah ada sebuah imarah (pemerintahan) baik dari golongan orang suci ataupun jahat sekalipun. Wahai Amirul Mukminin! Kalau yang suci kami telah mengetahuinya. Tapi Bagaimana bagi pemerintahan yang jahat? Bagi sebuah balasan dari Allah SWT. Tapi tegakkan ia agar jalan-jalan bisa aman dari kekuasaannya. Dan kita harus memerangi para musuh yang hanya menjadikanya sebagai naungan untuk memperoleh legalitas belaka”.
Di dalam kitab Majmu’ul Fatawa juz XXVIII halaman 297 disebutkan “Perasaan Ujub dengan membiarkan diri kita sampai hari ini tanpa imarah syar’iyah (pemerintahan yang sesuai syariat), baik dibawah pemerintahan yang baik atau jahat akan menjadikan hukum berhenti sementara, jalan menuju kebaikan hidup manusia akan terpotong, dan seruan jihad dijalan Allah SWT di berbagai Negara di dunia hanya menjadi sumber cercaan terutama kepada mereka yang menyerukan ajakan ini, tetapi mengabaikan pendirian sebuah pemerintahan Islami. Inilah perilaku yang paradox bagi sebagian umat saat ini”.
Kemudian pada halaman 390 disebutkan “bahwasanya wajib diketahui bahwa area atau wilayah untuk mengurus kepentingan manusia merupakan kewajiban agama paling besar. Sebab agama sendiri akan berdiri tegak ketika manusia diurus dengan baik dan benar untuk menjalankan syariatnya.  Tidak hanya sebatas masalah akhirat. Tetapi juga masalah duniawi”.
Sebagaimana kita pahami, bahwa bani adam tidak akan sempurna kemaslahatannya kecuali dengan menciptakan persatuan dan kesatuan yang kokoh dikalangan mereka agar keperluan sebagian terhadap sebagian yang lain bisa terpenuhi secara kodrati. Dalam hal tersebut, maka harus bisa terpenuhi secara kodrati. Dalam hal tersebut maka harus ada seorang yang menjadi pemimpin (imamah atau imaroh). Agar interaksi berjalan secara maslahat dan implementasi syariat bisa dijamin.
Dalam musnadnya, Imam Ahmad RA. Meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah Ibn Umar RA. Rasulullah bersabda: “tidak dihalalkan bagi tiga orang yang edang ada di gurun padang pasir bumi, kecuali salah seorang diantara mereka menjadi amir”
Karena itu Rasulullah SAW mewajibkan adanya amir pada salah seorang diantara jema’ah yang kecil dalam sebuah safar (perjalanan). Isyarat eksplisit ini menunjukkan adanya peringatan Rasulullah atas segala macam bentuk jama’ah untuk menunjuk seorang menjadi amir atau imam. Apalagi dalam komunitas yang besar.
Yang demikian karena Allah SWT telah mewajibkan manusia untuk menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Kedua hal tersebut tidak akan sempurna implementasinya kecuali dengan kekuatan (power) imarah atau pemerintahan.
Demikian juga, pelaksanaan syariat dan kewajiban-kewajiban yang lain seperti jihad fi sabilillah, berlaku adil, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan haji, berserikat mendirikan perseroan, silaturahmi sesame kaum muslimin dan orang-orang yang di dzalimi, dan melaksanakan hukum-hukum Allah SWT secara bebas, semua itu tidak akan terealisir dengan baik dan kondusif tanpa adanya kekuatan yang disebut imarah (khilafah) dan kepemimpinan seorang imam yang berjalan diatas rel teks suci Al-qur’an dan As Sunnah.
Salah satu riwayat yang mempertegas penegakan sistem tersebut adalah “sesungguhnya sulthan (imam/pemimpin) adalah payung Allah diatas muka bumi”.
Juga dikatakan bahwa enam puluh tahun hidup bersama imam yang keji, masih lebih baik tinimbang hidup semalam tanpa adanya seorang penguasa (sulthan) yang benar-benar berpijak diatas syariat islam.
Banyak pengalaman menerangkan tentang keutamaan hal tersebut sebagaimana diterangkan oleh Al-Fadhil ibn ‘Iyad dan Ahmad ibn Hanbal dan lain-lainnya. Mereka berkata: “kalau sekiranya kami mempunyai doa yang terkabulkan, maka dakwah (doa) kami tentu untuk mendirikan kesulthanan (pemerintahan) Islam yang terkenal dengan sistem Khilafah.”

Ibnu Khaldun
Didalam kitabnya yang masyhur Muqaddimah halaman: 167 berkata: “Sesungguhnya mendirikan imarah dan mengangkat imam adalah wajib, hal mana kewajibannya telah diketahui melalui teks syar’iyyah secara eksplisit maupun lewat ijma’ ulama dari kelompok sahabat dan para tabi’in sesudahnya. Sahabat Rasulullah SAW sendiri langsung mengangkat dan membai’at Abu Bakar Assidiq sebagai khalifah untuk mengurus dan mengambil keputusan-keputusan essenstal umat islam di hari (ke 3) wafatnya Rasulullah SAW. Demikian juga terjadi setelah beberapa dekade mendatang yang membuktikan kepada generasi selanjutnya bahwa Ijma’ (kesepakatan ulama) mereka cukup sebagai bukti/wajibnya mendirikan imarah dan mengangkat imam.
Ibnu Hazm
Di dalam kitab Fil fashl Fil Milal Wal Ahwaa’I Wan Nahli Juz IV halaman: 87 menguraikan pendapatnya.
“Telah sepakat seluruh kelompok ahlus sunnah wa aljama’ah, murji’ah, syi’ah, khawarij, bahwasanya mengangkat seorang imam itu wajib. Mendirikannya adalah kewajiban mutlak untuk mengurus umat secara adil sehingga ia menghukum dengan hukum-hukum Allah SWT dan menerapkan kepada umat hukum-hukum syariat sebagaimana telah dikerjakan Rasulullah SAW.”
Perkecualian hanya di temui pada komunitas khawarij di Nejd. Mereka berkata:
“Bukanlah sebuah kelaziman bagi manusia mengangkat seorang imam sebagai substansi yang fardhu (wajib). Akan tetapi bagi mereka harus ada saling memberi, saling memperingatkan, dan saling menyadarkan sesamanya dengan al haq (kebenaran)”.
Imam Qurtubi
Di dalam Tafsir Al Qurtubi juz I halaman 264, berkata: “Dan tidak ada khilaf mengenai kewajiban tersebut diantara umat islam. Kecuali riwayat Al-Asham yang menekankan bahwa kewajiban itu hendaknya berdasarkan syariat. Demikian menurutnya dan orang-orang yang sependapat dengan madzabnya”.
Al haitsami
Di dalam kitab As- Shawaaiq Al Muhriqah halaman 17 menerangkan tentang imarah dan khilafah sebagai berikut : “Ketahuilah! Bahwa para Sahabat RA telah sepakat atas kewajiban mengangkat seorang imam setelah berakhirnya zaman nubuwwah (era kenabian). Sehingga mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting. Itu yang ditunjukkan ketika secara aklamasi dan dalam kurun  waktu yang relative singkat menunjuk seorang khalifah disaat kesibukan mereka mengurusi pemakaman Rasulullah SAW”.
Imam Nawawi
Di dalam kitab Syarah Syahih Muslim juz XII halaman: 205 memberikan pendapatnya bahwa:
“Para ulama sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah atas kaum muslimin itu hukumnya wajib”.

Al Jurjani
Seorang pakar ilmu politik berkata:
“Mengangkat imam merupakan jalan untuk menyempurnakan kemaslahatan (kebaikan) kaum muslimin dan sebagai maqaashid asy-syar’I (tujuan syariat) yang paling agung”.

Imam Haramain
Di dalam kitab Giyaats Al-Umam berpendapat bahwa:
“Telah menjadi kesepakatan ulama di seluruh penjuru dunia internasional dan dari disiplin ilmu pengetahuan yang beraneka ragam, bahwa membangun sistem khilafah yang akan menaungi umat islam dengan hukum-hukum Allah SWT dan Rasulnya adalah wajib”.

Imam Al-iji dan Al jurjani
Di dalam kitab Al Mawaafiq halaman 603 diterangkan:
“Sesungguhnya adalah mutawatir mengenai kesepakatan kaum muslimin pada dekade awal setelah wafatnya Rasulullah SAW untuk tidak mengosongkan waktu barang sebentarpun dari hadirnya seorang imam. Sampai berkata Abu Bakar Ash-Shidiq RA. Mengenai mengangkatan  seorang imam itu dalam pidato pelantikannya yang sangat masyhur pada wafatnya sang Rasul”. “ ketahuilah! Sesungguhnya Muhammad telah wafat. Sudah sepatutnya ada orang yang diangkat untuk mengurus agama ini” lalu mereka menerima usulan Abu bakar dan rela meninggalkan urusan yang sangat besar dan teramat penting yaitu penguburan jazad Rasulullah SAW sendiri.
Tradisi seperti itu masih terus masih terus berlangsung sampai beberapa dekade sesudahnya hal mana kemaslahatan umat diserahkan kepada seorang imam yang adil, mampu mengakomodir, mencari solusi dari problematika umat melalui penerapan hukum-hukum Allah yang tertuang dalam nash-nash Al-Qur’an dan Al Hadits.

DR. Ziaduddin
Di dalam kitab Al-Islaam Wa Al- khilafah halaman 99 mengomentari tentang khilafah dan imamah:
“Khilafah merupakan dimensi paling essential dan fundamental dalam tatanan syaria’at Islam. Karena disitu terletak kepentingan umat Islam. Nash-nash sharih jelas menyebutkan bahwa mendirikan sistem khilafah merupakan kewajiban pokok dari kewajiban-kewajiban agama. Apabila diselusuri lewat analisis komprehensif, akan terlihat bahwa kewajiban agung. Dari tegaknya khilafah yang dipangku oleh seorang khalifah berperilaku seperti tuntunan Al-Qur’an dan As Sunnah akan memungkinkan terlaksana kewajiban-kewajiban lainnya”.
Pada halaman 341 ia melanjutkan analisisnya:
“sebagaimana telah kita mafhum pada bahasan-bahasan yang lalu, sesungguhnya persoalan khilafah dan imamah merupakan fardhun asasiyun (kewajiban fundamental/mendasar)”. Ia berfungsi sebagai perangkat implementasi syari’at agama yang sangat strategis. Karena posisinya sebagai poros kewajiban setiap agama dan sebagai bentuk realisasi perbaikan berkewajiban agama dan sebagai bentuk realisasi perbaikan berbagai aspek kehidupan umat menuju stratifikasi sosial yang lebih bermakna. Ia kemudian dijadikan sebagai kewajiban pertama dan paling utama. Karena itu posisi khilafah dan imamah identik dengan Al-Imamah Al ‘Uzhma (Imam yang agung) yang berbeda dengan istilah imamah dalam shalat yang biasa disebut dengan Al-Imamah As-Shughra. Inilah pendapat komunitas Ahlu Sunnah Wal Jam’ah dan mayoritas umat islam. Pendapat inipun dianut oleh imam yang empat (Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali. Pent) dan para ulama besar seperti Al-Mawardi, Al-Juwaini, Al-ghazali, Ar-Razi, At-Taftazani, Ibnu khaldun, dan lain-lain.
Begitu pendapat para ulama besar hal mana otoritas keilmuwan dan kezuhudan mereka telah diakui dunia internasional, bahkan menjadi rujukan dan tauladan umat islam. dan kita telah mengetahui dengan gamblang dalil-dalil yang mereka pergunakan. Semua berkesimpulan bahwa mendirikan sistem khilafah itu hukumnya wajib.
Sedangkan kelompok syi’ah, dalam memandang persoalan imamah, bukan dilihat dari sekedar kewajiban, tetapi lebih dari itu mereka memasukkannya sebagai salah satu rukun agama dan dasar keimanan. Menurut kelompok ini keimanan seseorang tidaklah syah kecuali dengan adanya hal tersebut, yaitu imamah. Karenanya, Khilafah dalam perspektif keislaman dan umat islam sebagai fardhu dan rukun dari teori formulasi aqidah. Inilah pada hakikatnya interpretasi yang prinsipnya dari ‘amaliyah diniyah (pekerjaan agama) yang tidak terbantahkan.

Syeikh Abdur Rahman Abdul Khaliq
Berkata dalam kitab Asy-Syuro:
“Yang dimaksud dengan imamah ‘ammah (imam yang bersifat umum) atau khilafah ialah wadah tempat menggantungkan diri yang padanya berdiri syari’at allah SWT dan hukum-hukum Nya melalui teks Al-Qur’an dan Hadits. Seorang imam peduli terhadap masalah-masalah kaum muslimin berikut kebaikan dan urusan mereka secara keseluruhan, berani berjihad terhadap musuh-musuh mereka. Semua orang muslim sepakat mengenai kewajiban dan kelaziman mendirikannya, serta dosa bagi mereka yang hanya berpangku tangan, duduk mendengkur tidak mau beranjak dari tempat duduknya untuk segera mendirikannya.”
Abdul Qadir Audah
Memberikan kontribusi pemikirannya pada kitab Al Ahkam As Sulthaniyah pada halaman 19. Ia berkata:
“Khilafah merupakan fardhu kifayah seperti kewajiban jihad dan qadha. Maka apabila telah ada yang mendirikannya, jatuhlah (tidak berlaku hukum) kewajiban secara kaffah. Maka jika tidak ada satupun uang mendirikannya diantara kaum muslimin, berdosalah semua orang islam sampai ada salah seorang diantara mereka mendirikannya”.
Lebih lanjut Abdul Qadir Audah mengatakan: “sebagaian ulama berpendapat bahwa tanggungan dosa terbatas hanya kepada dua kelompok muslimin, yaitu:
a.       Ahl ar-ra’yi, sampai mereka memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah
b.      Orang-orang yang telah memenuhi kriteria sebagai khalifah sehingga salah seorang diantara mereka di pilih menjadi khalifah.
Yang lebih benar, menurut pendapat saya, bahwa dosa bagi mereka yang tidak mendirikan khilafah adalah tanggung jawab semua orang islam. karena mereka terkena Khitab Asy-syar’i (Seruan Syariat) secara umum, yang berarti mereka mempunyai kewajiban yang sama dalam mendirikan sistem khilafah sebagaimana maqashidasy-syar’I (maksud syari’at). Jika ada yang masih belum mengetahui tentang kewajiban ini, maka menjadi kewajiban umat untuk membawa mereka melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota masyarakat islam. Kalau tidak dilakukan, berarti mereka  (anggota masyarakat islam tersebut) telah berserikat dalam dosa mereka.

Sulaiman Al-Diji
Di dalam kitab Al-Imamah Al Uzhma halaman 75 berkata:
“Pada hakikatnya tidak bisa di ragukan lagi mengenai kewajiban atas dua kelompok diatas kelompok lain. Namun jika tidak ada diantara keduanya yang berupaya dengan sungguh-sungguh menghidupkan kewajiban ini, berarti kedua-duanya di vonis sebagai kelompok yang bertanggung jawab terhadap dosa akibat kelalaiannya itu. Inilah yang bisa di fahami dari pengertiannnya sebagai fardhu kifayah. Yaitu apabila telah ada sekelompok orang atau siapa saja yang berupaya membangun, maka gugurlah kewajiban itu. Demikian juga sebaliknya, apabila tidak seorangpun yang berusaha mendirikannya berarti dosalah semuanya. Seperti Amar Ma’ruf Nahi Munkar; Jihad; menuntut ilmu dan sebagainya.”
Pada fase sekarang kedua kelompok tadi mulai terlihat begitu lamban dan  sangat lemah semangatnya dalam usaha mendirikan kewajiban ini. Bahkan terjadi fenomena yang menjyedihkan hal mana justru sering terjadi benturan kepentingan dalam aspek kehidupan individual dan sosial khususnya dalam mengurus kepentingan umat islam.
Apabila kenyataan ini terus berlangsung tanpa adanya prosesing yang mengarah kepada arah pembentukan khilafah secara transparan dan komprehensif, maka kaum muslimin akan bertindak secara individual dan parsial sesuai denjgan kemampuannya masing-masing untuk menegakkan khilafah islamiyah ‘ammah yang disitu tersimpul kekuatan dan kepentingan kaum muslimin di bawah satu bendera tauhid.
Dengan begitu diharapkan kembalinya kepemimpinan kaum muslimin dan posisi-posisi mereka yang strategis dalam percaturan berbagai bidang kehidupan umat manusia yang pada era ini mulai hilang disebabkan kemalasan mereka sendiri dalam menegakkan sebuah kewajiban yang sangat agung. Padahal janji Allah sangatlah jelas sebagai penolong mereka.
DR. Mahmud Al Khaldi
Di dalam keterangannya yang termuat dalam kitab Qawaaid Nizhaam Al-Hukmi Fii Islam halaman 248 secara detil ia menguraikan tentang wajibnya khilafah dan imamah:
“Dan kehinaan yang melingkupi kaum muslimin tatkala mereka dijadikan kelompok marginal (pinggiran) dalam dunia Internasional, dan hadir sebagai pengekor dalam sejarah perkembangan peradaban manusia yang sangat kompetitif dalam dimensi kehidupannya yang sangat kompleks. Kehinaan seperti ini mungkin akan sirna dalam kehidupan mereka apabila ada kesadaran dan kepedulian kaum muslimin untuk segera berbuat demi tegaknya khilafah tanpa proses revolusioner. Akan tetapi pranata ini di persiapkan secara matang dari berbagai aspek sedetil mungkin. Sehingga pada saatnya khilafah lahir secara alamiyah fitriyah, dan hukum-hukum syariat Islam bisa diterapkan secara, terbuka dan komprehensif dengan terus memberikan interpretasi positif konstruktif terhadap perkembanbgan dan dinamika kehidupan manusia. Dengan dasar itu, maka sungguh telah berdosa besar bagi nasib umat Islam serta masa bodoh melihat tata kehidupan yang sangat tidak islami. Karenanya, mendirikan sistem khilafah untuk umat ini adalah kelaziman final dalam rangka menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan secara islami agar umat ini bisa membawa dakwah islam ke seantero jagad raya.”
Saya berpendapat, analisis yang cukup beragam dari para pakar tata hukum islam sudah memadai untuk mewakili kehadiran mereka sebagai justifikasi dari kewajiban mendirikannya sebagai pranata yang sangat vital dalam kehidupan umat islam.
Permasalahan sesungguhnya tidak terletak kepada seberapa banyak pendapat dan analisis pakar, tetapi lebih mengacu kepada bangkiynya hati nurani untuk menyadari fungsi dan apakah peranan khilafah didalam kehidupan umat manusia . Apakah mata telah di pergunakan untuk melihat fenomena Internasional yang sangat mengerikan bagi kehidupan umat Islam? Semoga pertanyaan ini bisa di jawab oleh kita dengan kerja nyata. Aamiin.

          
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Mengukir Peradaban - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger