Adat Bersendi Syarak (Sempena Konferensi Rajab 1432 H)

Selasa, 21 Juni 20110 komentar

Oleh: UU Hamidy
Belanda telah memakai berbagai cara dan siasat untuk melestarikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia.
Sejarah telah memberi bukti meski banyak dikaburkan beberapa buku sejarah, bahwa lawan tangguh penjajah ini ialah umat Islam dengan pemegang teraju jihad para ulama dengan santrinya.
Belanda telah dihadapi dengan semangat jihad fi sabilillah, sehingga kematian bukan lagi dipandang sebagai bencana, tapi anugerah yang tinggi di sisi Allah.
Dengan aktor intelektualis Snouck Hurgronye, Belanda menyadari akar tunggang kekuatan umat Islam yang paling membahayakan penjajahan sistem kufur Belanda adalah syariah Islam, yang langsung berhadapan hitam-putih dengan undang-undang sistem kufur yang dianut Belanda.
Jika syariah Islam berjaya dalam perlawanan kaum muslimin Indonesia, maka kekuasaan Belanda akan jadi debu yang beterbangan.
Itu sebabnya Snouck menasehati para pemegang teraju penjajahan Belanda agar perkara Islam yang berhubungan dengan fardu ain seperti salat, puasa, zakat dan naik haji jangan dihalangi.
Tapi dalam perkara syariah Islam yang akan melahirkan kekuasaan, inilah yang harus diawasi dan ditangkal. Sebab kekuatannya akan menggilas sistem kufur kolonial dan kapitalis yang jadi sandaran Belanda.
Untuk melemahkannya, Belanda berusaha mendesaknya dengan hukum adat. Manusia membuat tipu daya, namun semuanya ada dalam kekuasaan Allah, dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.
Maka tipu daya Belanda hendak memansuhkan syariah Islam dapat ditangkis dengan jitu. Ulama dan pemangku adat Melayu menyadari, hukum buatan manusia tak bernilai sama sekali, jika tak bersandar pada hukum Allah.
Syariah Islam yang datang dari Allah mustahil mendatangkan malapetaka pada manusia. Allah tak punya kepentingan terhadap syariah Islam, sebagaimana manusia punya kepentingan terhadap aturan yang dibuatnya.
Syariah Islam sebagai hukum dari Allah semata-mata hanya untuk keselamatan manusia sehingga jadi rahmat bagi segenap alam. Kesadaran Islami yang demikian telah membentuk dasar budaya adat bersendi syarak.
Adat sebagai aturan atau hukum buatan manusia tak bisa kokoh, jika tak bertumpu pada syarak. Bagaikan tiang kayu, jika tak ada sendinya (tempat bertumpu) niscaya cepat tumbang.
Sendi itu haruslah sesuatu yang kuat seperti batu yang dicampur dengan pasir lalu dibentuk dengan semen. Begitu jugalah perumpamaan syariah Islam atau hukum syarak yang jadi dasar segala peraturan buatan manusia dapat memberi kekuatan pada masyarakat/kerajaan.
Maka dalam pandangan Melayu yang islami, adat atau hukum yang sebenar adat adalah hukum yang berasal dari Allah, yang berlaku terhadap segenap jagad raya.
Inilah adat yang azali, yang pada satu sisi berupa syariah Islam, yakni aturan kehidupan untuk manusia yang sesuai fitrahnya. Pada sisi yang satu lagi berlaku sebagai hukum alam.
Kemudian barulah dikenal adat yang diadatkan, yaitu aturan buatan manusia yang diberlakukan juga sebagai hukum dalam bingkai hukum Allah itu. Adat yang diadatkan adalah hasil buah pikiran manusia yang cemerlang, penjabaran dari syariah Islam dalam batas kepentingan hidup dunia.
Para perancang adat yang diadatkan ini dalam dunia Melayu misalnya Datuk Demang Lebar Daun, Datuk Demang Serail, Datuk Perpatih, Datuk Kaya dan Datuk Ketumanggungan.
Datuk Demang Lebar Daun membuat undang-undang, raja tak boleh menghina rakyat, rakyat tak boleh durhaka pada raja. Datuk Demang Serail melarang menebang kayu sialang, pohon kayu yang dipakai lebah untuk bersarang dan madu amat banyak khasiatnya.
Siapa yang kedapatan menebang pohon kayu sialang dengan alasan yang tiada munasabah, dia didenda menyerahkan satu kabung kain putih sepanjang pohon sialang yang ditebangnya.
Dia juga membuat aturan pembagian madu lebah dengan 2-2-1. Dua bagian untuk yang memanjat (mengambil) madu, dua bagian untuk warga suku di mana kayu sialang berada. Satu bagian untuk orang patut dalam masyarakat itu.
Datuk Perpatih membuat aturan perkawinan antar suku, sebab tiap suku dipandang satu keluarga besar. Tapi kalau terjadi perkawinan sesuku, nikah-kawin tetap sah sesuai syariah Islam. Datuk Kaya membuat aturan tentang pengambilan hasil-hasil laut.
Datuk Ketumanggungan membuat ketentuan ukuran isi yang dikenal dengan gantang dan cupak, sehingga terkenal ungkapan secupak bak ketumanggungan.
Kemudian ada lagi adat yang teradat yakni hasil musyawarah yang dikokohkan sebagai aturan. Ini membimbing manusia punya budi pekerti, sebagaimana jadi anjuran Islam. Maka dibuatlah aturan panggilan dalam keluarga dan masyarakat, sehingga terpancar perangai budi yang mulia. Sejajar dengan itu dibuat pula aturan tutur-kata.
Adab bertutur dengan orang tua memakai kata mendaki yaitu meninggikan/menghormati. Terhadap orang semenda dipakai kata sindiran/bersayap. Pada teman sebaya dipakai kata mendatar/saling menghargai.
Sedang terhadap yang lebih muda dipakai kata menurun yaitu yang bernada membimbing. Selanjutnya dikenal pula konsep adat istiadat, yakni ketentuan atau perilaku yang sebaiknya dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat. Ini banyak berhubungan dengan perlakuan terhadap alam. Maka dibuatlah adat beternak dan beladang serta pembagian pemakaian hutan tanah.
Dalam setahun ditentukan 6 bulan pertama untuk kepentingan peladang dan 6 bulan terakhir untuk peternak. 6 bulan pertama petani berladang sampai selesai menuai. Ketika itu ternak besar digembalakan agar tak merusak ladang.
6 bulan terakhir ternak dapat dilepas untuk merumput di ladang. Ini membuat lahan pertanian jadi subur oleh kotoran ternak. Maka terjalinlah hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan.
Dalam hal hutan tanah, dunia Melayu di Riau telah membuat suatu ketentuan adat yang dapat menjamin kelestarian alam semula jadi. Hutan tanah dibagi atas 4 bagian penting: rimba simpanan, tanah ladang dan kebun, rimba kepungan sialang serta tanah pekarangan.
Rimba simpanan adalah rimba belantara yang tak boleh diganggu, khusus untuk melestarikan flora fauna serta resapan air. Hasilnya hanya dapat diambil seizin pemangku adat sebatas tak sampai merusak kelestarian dengan panduan: kayu diambil diganti kayu, hutan ditebang diganti hutan.
Adat yang diadatkan (hukum buatan manusia) adat yang teradat (adab budi pekerti) dan adat istiadat (aturan terhadap alam) semuanya harus ditapis oleh adat yang sebenar adat yakni hukum yang datang dari Allah.
Semuanya tak boleh bercanggah dengan syariah Islam, apalagi sampai menentang.
Semua hukum buatan manusia tanpa mengindahkan hukum Allah, hanya akan jadi alat kekuasaan yang menindas dan pemuas hawa nafsu yang rendah, sehingga akhirnya mendatangkan kehancuran dan malapetaka.***
UU Hamidy, Budayawan, tinggal di Pekanbaru.
Sumber : 
riaupos.co.id (17/6/2011)
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Mengukir Peradaban - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger